Menjadi Insan Yang Logis Dan Humanis
MENJADI MANUSIA YANG LOGIS DAN HUMANIS
oleh Nur Agustinus
Pembicara publik ,Mario Teguh, dalam satu sesi inspirasional menuturkan, banyak orang yang bekerja ternyata bukan dari bidang yang dipelajarinya ketika kuliah, termasuk ia sendiri. Menurutnya, pendidikan itu bukan menyiapkan kita dari keilmuan, namun menyiapkan kedewasaan mental kita untuk menuntaskan masalah yang sulit dengan berpikir urut logis dan berguru melihat gambar besar. Kalau itu dikuasai ketika kuliah, maka kita bisa bekerja di bidang apapun.
Di perguruan tinggi tinggi, Ilmu Alamiah Dasar diberikan dengan tujuan menjadikan mahasiswa sebagai ilmuwan dan profesional yang berpikir kritis, kreatif, sistematis , ilmiah, berwawasan luas, etis, dan estetis ,serta mempunyai kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Kemampuan berpikir logis dan benar menjadi sebagian elemen dasar kegagalan bangsa ini menyerupai tampak dari praktek suap dan korupsi elit politik remaja ini. Berpikir logis itu penting, tidak sekadar budi sehat, lantaran budi yang dianggap sehat ini sering juga error. Kita sering melaksanakan kesalahan nalar atau kesesatan nalar dalam berargumen atau membuat keputusan, entah itu berupa generalisasi yang terlalu tergesa-gesa, keterlibatan emosi atau imbas persepsi subjektif.
Namun berpikir logis saja tidak cukup. Kita juga perlu berpikir secara benar. Ketepatan berpikir dalam nalar berarti sebuah true, namun benar di sini berarti right. Kita perlu berpikir secara true dan “right atau sempurna dan benar. Mengapa itu menjadi penting?
Ketika insan berinteraksi dengan insan lain, selalu terbuka kemungkinan untuk konflik. Hal ini lantaran insan mempunyai keyakinan dan sikap yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Ini juga membuat sesesorang bisa setuju atau tidak sepakat. Ketidaksepakatan bisa terjadi di level keyakinan, namun sanggup juga pada tingkat sikap, atau bahkan pada tataran keduanya. Apa maksudnya?
Misalnya saja, ada sebuah laporan bahwa ada seorang siswa melaksanakan sebuah perbuatan yang berdasarkan seorang guru, hal itu tidak benar. Karena ingin masalah diselesaikan, guru tersebut ingin bertemu dengan murid yang bersangkutan. Murid tersebut tiba dengan didampingi oleh orangtuanya. Nah, di sini terjadi ketidaksepakatan dalam hal sikap. Orangtuanya yang tidak ingin anaknya disalahkan beranggapan bahwa perbuatan si anak itu biasa saja, bahkan untuk apa harus diributkan. Ketidaksamaan inilah ada di dalam tataran ketidaksepakatan sikap, yang bisa menyulut konflik yang lebih besar lagi.
![]() |
Toleransi Beragama, yaitu salah satu fondasi humaniora yang hilang lantaran ruskanya hukum berpikir sehat manusia |
Lain halnya kalau ada kasus, menyerupai seorang murid yang terlambat masuk sekolah. Dia menyampaikan bahwa ia terlambat lantaran jalanan macet. Gurunya tidak setuju lantaran tidak yakin bahwa telah terjadi kemacetan di jalan yang mengakibatkan di murid terlambat. Ketidaksepakatan inilah yang akan terjadi lantaran adanya perbedaan keyakinan.
Dalam dua masalah ini, kalau kita amati dan seandainya itu terjadi pada diri kita sendiri, walau letak ketidaksepakatannya berbeda, namun kalau kita merasa benar dan dikalahkan dalam argumentasi atau lantaran power, maka kita akan merasa diperlakukan secara tidak adil. Di sini peluang konflik, ketidakpuasan, kekecewaan akan terjadi.
Nah, kasus-kasus menyerupai ini sering terjadi. Lalu apa hubungannya dengan perkuliahan umum yang lebih banyak mendidik aspek humaniora menyerupai kewarganegaraan, agama, etika, bahasa, ilmu budaya dasar atau alamiah dasar? Tujuannya bekerjsama yaitu bagaimana membentuk insan yang utuh dan humanis.
Kita memang berguru di perguruan tinggi tinggi, di sebuah fakultas, untuk menempuh sebuah bidang keilmuan. Bisa berguru kedokteran, teknik, pariwisata, desain, psikologi , politik, ekonomi dan masih banyak lainnya. Setelah menempuh studi itu, kita akan dianggap ahli. Namun, menyerupai dikatakan oleh Mario Teguh, anehnya aneka macam orang yang kemudian bekerja tidak di bidang yang ditekuninya ketika kuliah. Kita memang tidak gampang memprediksi masa depan. Bisa jadi semasa kuliah itu merupakan passion-nya, tapi ketika bekerja atau berwiraswasta, passion itu beralih. Masajlah menyerupai ini banyak terjadi, lantaran bawah umur kita sering kali tidak terperinci serta kurang konsisten dengan cita-citanya. Beberapa malah ikut-ikutan sobat atau hanya lantaran dianjurkan orang tuanya untuk kuliah di jurusan tertentu.
Secara keilmuan, bekerjsama apa yang kita pelajari di kursi kuliah, ketika lulus sudah tidak relevan lagi. Ini sangat dirasakan oleh mereka yang kuliah di jurusan informatika atau teknologi komputer. Ketika di kuliah mereka berguru bahasa aktivitas menyerupai Pascal atau Javascript, sementara ketika lulus, aktivitas itu sudah tidak digunakan lagi. Lalu, apa yang harus ia lakukan nanti ? Menangis lantaran ketidakgunaan ilmu mereka ?
Salah satu kuncinya yaitu mengajarkan serta mendidik mahasiswa untuk berpikir kritis. Kita tahu bahwa yaitu jauh lebih baik kita memberi kail ketimbang eksklusif memberi ikan kepada seseorang. Mengajarkan ilmu kepada mahasiswa yaitu sama dengan memberi kail. Tapi, anggaplah kail tertentu hanya bisa untuk memperoleh ikan tertentu. Maka ketika ikan itu sudah tidak ada, maka kail itu menjadi tidak berguna. Justru pelajaran lain yang sifatnya dianggap hanya sebagai pendukung, menyerupai mata kuliah umum dan humaniora, mendidik bagaimana berpikir kritis, sekaligus mengajarkan bagaimana membuat kail yang lain. Ibarat menyiapkan mahasiswa dengan kemampuan membuat kunci-kunci untuk bisa membuka segala pintu dunianya.
Kalau ketika ini kita melihat banyak masalah di negara kita, contohnya korupsi yang masih merajalela, politisi yang saling melaksanakan pembunuhan karakter, beragumen yang tidak logis hanya demi pencitraan, sikap pengusaha yang tidak etis, keputusan yang ambigu atau pemimpin yang tidak bisa memikirkan skala prioritas yang benar, maka rasanya ada hilang dalam sistem pendidikan kita.
Socrates, filsuf Yunani, pernah mengatakan, setiap orang intinya ingin menjadi baik serta berbuat kebaikan, tapi seringkali orang tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Untuk itu, insan perlu diajari bagaimana cara untuk berbuat baik.
Masalahnya, kita sering lupa mengajarkan untuk berbuat baik, bahkan kepada orang-orang di sekitar kita, bawah umur kita, saudara-saudara kita, atau bahkan kita sendiri berguru kepada orang lain untuk berbuat baik. Kita terlalu sibuk untuk mencapai prestasi puncak, kedudukan, kekayaan. Kepada anak, kita menuntutnya untuk menerima nilai tertinggi di kelasnya dengan berguru keras. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, karenanya si anak lebih peduli dengan dirinya sendiri ketimbang masalah sosial di sekitarnya.
Memang, pengajar mata kuliah umum ini sendiri juga langka. Jarang orang yang mau mengajar di bidang yang dianggap kering ini. Di Amerika, lowongan terbanyak untuk pengajar yaitu di bidang studi humaniora. Apa mungkin lantaran sedikit pelamarnya? Padahal, kalau kita ikuti pendapat Daniel Goleman, kecerdasan insan tidak cukup hanya dari aspek intelektual, tapi juga dari emosional dan sosial.
Demikian juga, Howard Gardner, dengan teorinya wacana kecerdasan majemuk, bekerjsama mengingatkan bahwa kesuksesan tidak semata ditentukan dari kecerdasan intelektual saja. Kita perlu membangun generasi yang peduli dengan orang lain, sosok pribadi yang logis dan humanis.
Sumber artikel:
https://resepbundamoli.blogspot.com/search?q=menjadi-manusia-yang-logis-dan-humanis